Telaah Sejarah Terhadap UU No. 15 Tahun 2002 – UU No. 25 Tahun 2003
Thema pembahasan yang penulis angkat terinspirasi dari Film yang berjudul The Mobster, yang mengulas kisah nyata kehidupan Meyer Lasky dkk, yang merupakan Pioner dari Tindak Pidana Pencucian Uang.
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam konvensi PBB tahun 1995 dan terakhir pada konvensi Palermo 2000, sudah disebutkan tentang pemberantasan kejahatan, dimana ada 17 jenis kejahatan yang termasuk Serious Crime. Ternyata tindak pidana Pencucian Uang merupakan peringkat pertama, setelah itu adalah korupsi dan penyelundupan. Kejahatan inilah yang dikategorikan international serious crime .
Terminologi pencucian uang atau Money Laundering berasal dari “Laundromats” atau bisnis jasa pencucian pakaian otomatis di Amerika Serikat yang mana pada periode 1930 an disinyalir sebagai “bisnis bayangan” yang dibangun oleh kelompok-kelompok mafia untuk menyamarkan hasil dari kegiatan ilegal mereka . Meskipun demikian, Kegiatan Pencucian Uang sebagai suatu tindak kejahatan baru mendapat perhatian khusus pada dekade 1980 an khususnya dalam kaitannya dengan konteks Perdagangan Obat Bius.
Mengingat implikasi yang ditimbulkan sudah mencapai titik yang memprihatinkan, maka berdasarkan hasil kovensi Vienna 1988 maka dikukuhkanlah gerakan pemberantasan pencucian uang secara global dalam bentuk International Anti Money Laundering Legal Regime. Sebagai tindak lanjut gerakan tersebut maka pada KTT G-7 1989 di Prancis dibentuk FATF yang merupakan komisi khusus dalam menjalankan tugas Rezim Anti Pencucian Uang. Tugas utama dari FATF adalah memantau perkembangan trend dan teknik pencucian uang, menganalisa kasus yang telah terjadi baik tingkat nasional maupun internasional, serta menyusun suatu kerangka dasar tindakan dalam upaya memerangi tindak pidana pencucian uang. Berdasarkan wewenang yang dimilikinya, saat ini FATF telah mengeluarkan 40 butir rekomendasi penanganan kejahatan pencucian uang dan 9 rekomendasi khusus mengenai penanganan kejahatan pencucian uang dalam kaitannya dengan terorisme internasional. Rekomendasi tersebut kemudian dijadikan standarisasi penanganan tindak pidana pencucian uang.
Bulan Juni 2001, Indonesia masuk dalam Daftar Hitam FATF sebagai negara yang tidak kooperatif dalam upaya pemberantasan Pencucian Uang (Non Cooperative Countries or Territories/ NCCTs). Hal ini disebabkan rentannya kebijakan pengaturan sektor industri keuangan (Loopholes in financial regulations) dan belum ada-nya sarana yang memadai dalam mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang (Inadequate resources for preventing and detecting money laundering activities).
Menanggapi kondisi tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia kemudian turut menerapkan pendekatan anti money laundering regime sejak 17 April 2002 yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang selanjutnya telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (UU TPPU). Dalam melaksanakan UU TPPU selama lebih dari 4 tahun ini banyak pelajaran berharga yang diperoleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai salah satu dari pelaksana UU TPPU yang berperan dalam upaya mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan TPPU. Sehubungan dengan itu, bersama-sama dengan instansi terkait, PPATK telah melakukan inventarisasi berbagai kendala dan hambatan yang terjadi untuk efektifitas pelaksanaan UU TPPU di masa mendatang.
Meskipun dalam implementasi Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia masih terdapat berbagai kelemahan, akan tetapi dengan menimbang adanya perkembangan yang memadai dan berkelanjutan serta komitmen Pemerintah Indonesia dalam memberantas kejahatan Pencucian Uang, maka berdasarkan hasil sidang Pleno FATF tanggal 11 Februari 2005 di Paris, Indonesia dinyatakan keluar dari daftar NCCTs, meskipun demikian FATF masih melaksanakan prosedur pemantauan terhadap kinerja Pemerintah Indonesia yang pelaksanaan akan dikordinasikan dengan Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG) sebagai FATF-style regional body
Guna mengoptimalkan kinerja serta memenuhi standarisasi internasional dalam Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia, pemerintah Indonesia berupaya untuk memperbaharui perangkat regulasi pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Salah satunya adalah dengan menyusun RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebagai upaya penyempurnaan perangkat regulasi yang telah ada sebelumnya (UU No 15 Tahun 2002 jo UU No 25 Tahun 2003) penyusunan RUU ini bertujuan untuk :
• Memperkuat rezim anti pencucian uang di Indonesia;
• Mendukung dan meningkatkan efektifitas upaya penegakan hukum ;
• Memberikan dasar yang kuat dan kemudahan dalam pentrasiran dan penyitaan aset hasil tindak pidana sehingga menimbulkan efek jera bagi pelakunya ; dan
• Menyesuaikan dengan standar internasional yang telah mengalami perubahan dan berupaya mengikuti international best practice
Bilamana RUU ini disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka Rezim Anti Pencucian Uang Indonesia dalam taraf normatif sudah memenuhi standar Internasional dalam pencegahan dan pemberantasan Tidak Pidana Pencucian Uang sebagaimana dicantumkan dalam Revised Forty Recomendation yang dikeluarkan oleh FATF.
2. Lingkup Pembahasan
Pembahasan Sejarah Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia dilakukan dengan mengambil pendekatan terhadap permasalahan substansial mengenai upaya pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
Uraian umum (overview) mengenai Pencucian uang yang mencakup defenisi, sejarah, Metode dan tipologi pencucian uang serta dampak yang ditimbulkannya. Dari bahasan ini dapat diperoleh argumen utama mengenai kriminalisasi pencucian uang.
Wacana Rezim Anti Pencucian Uang secara Global yang mencakup pola kasus pencucian uang yang terorganisir serta kaitannya dalam peta kejahatan transnasional, upaya dan strategi pemberantasan melalui konvensi-konvensi internasional, serta langkah konkrit dari Rezim Anti Pencucian Uang Global dalam hal ini adalah FAFT
Perjalanan Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia yang mencakup bahasan mengenai Undang Undang TPPU, latar belakang lahirnya, implementasi, kendala yang dihadapi serta upaya untuk menyempurnakan perangkat regulasi tersebut.
3. Metodologi
Sesuai dengan tema yang dibahas dalam makalah ini, yakni perjalanan Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia, maka metode yang digunakan dalam mengelaborasi permasalahan adalah menggunakan pendekatan Metodologi Hukum Normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekuder dan bahan hukum tertier.
Bahan Hukum Primer yang diteliti sesuai dengan pembahasan adalah :
• United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, 1988 (Vienna Convention 1988)
• United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000 (Palermo Convention 2000)
• The FATF Forty Recommendations and Special Recommendations on Terrorist Financing ( 40 + 9 Recommendations of FATF-GAFI)
• Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
• Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
• Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Adapun bahan-bahan sekunder yang digunakan antara lain, Naskah Akademik RUU Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Karya tulis lainnya yang membahas masalah Pencucian uang serta literatur pembantu seperti kamus bahasa, kamus hukum serta ensiklopedia.
II. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (Overview)
Upaya pembahasan mengenai Perjalanan Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia tidak terlepas dari wacana Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai objek pembahasan. Oleh karenanya dianggap perlu untuk mengelaborasi wacana umum mengenai objek tersebut. Dalam bagian ini diulas mengenai Defenisi, Sejarah, Tipologi, serta dampak yang ditimbulkan oleh praktek Pencucian Uang. Tujuan pembahasannya adalah memperoleh wacana argumentatif mengenai kriminalisasi pencucian uang sebagai titik tolak pembentukan Rezim Anti Pencucian Uang, khususnya di Indonesia.
1. Defenisi Pencucian Uang
Hingga saat ini belum dirumuskan suatu defenisi universal dan komprehensif mengenai terminologi Pencucian uang (money laundering), meskipun demikian berbagai defenisi secara substansial tetap mengarah pada praktek penyamaran uang hasil berbagai tindakan kriminal melalui metode, modus, ataupun proses tertentu sehingga uang tersebut terkesan diperoleh secara legal, adapun berbagai defenisi tersebut antara lain :
Dalam Wikipedia Encyplopedia dijelaskan :
Money laundering is the practice of engaging in financial transactions in order to conceal the identity, source, and/or destination of money, and is a main operation of the underground economy.
Dalam Financial Dictionary dijelaskan :
The process of creating the appearance that large amounts of money obtained from serious crimes, such as drug trafficking or terrorist activity, originated from a legitimate source.
Dalam The ‘Lectric Law Library’s Lexicon dijelaskan :
MONEY LAUNDERING – Conduct/acts designed in whole or in part to conceal or disguise the nature, location, source, ownership or control of money (can be currency or equivalents, eg. checks, electronic transfers, etc.) to avoid a transaction reporting requirement under state or federal law or to disguise the fact that the money was acquired by illegal means.
The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) mendefinisikan Pencucian uang sebagai berikut :
“Money Laundering is the processing of these criminal proceeds to disguiese their ilegal origin”
Sedangkan Undang-undang no. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang no. 25 Tahun 2003, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pencucian uang adalah :
Perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
2. Sejarah Pencucian Uang
PRAKTEK PENCUCIAN UANG PRA KRIMINALISASI
Pada dasarnya praktek pencucian uang telah dilakukan sejak lama. Paling tidak hal itu sebagaimana dilakukan oleh para Bangsawan Perancis. Pada abad XVII membawa harta kekayaan ke Swiss, pihak Perancis menyatakan mereka membawa dana pelarian dan para Bangsawan termasuk para pedagang kemudian menyembunyikannya di Swiss dengan dibantu pihak Swiss dan selanjutnya dapat digunakan dengan aman. Demikian juga harta yang dibawa oleh Bangsa Yahudi dari Jerman ke Swiss pada masa Hitler.
Terminologi “Pencucian Uang” itu sendiri – menurut Billy Steel – berasal dari bisnis Laundromats (tempat cuci otomat) milik Mafia di Amerika Serikat. Para gangster di sana telah memperoleh penghasilan yang besar dari pemerasan, pelacuran, judi dan penyelundupan minuman keras. Mereka menginginkan agar uang yang mereka peroleh tersebut terlihat sebagai uang yang halal. Salah satu caranya adalah dengan membeli atau mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang bisnis halal dan mencampurkan uang hasil dari kejahatan mereka dengan uang hasil dari bisnis halal mereka tersebut. Laundromats dipilih oleh para gangster ini sebab usaha Laundromats dilakukan dengan menggunakan uang tunai dan pasti menguntungkan sebagaimana yang dilakukan oleh Al Capone.
Walaupun Al Capone telah dituntut dan dihukum dengan pidana penjara selama sebelas tahun di penjara Alcatraz pada bulan Oktober 1931, namun itu semua lebih karena ia dinyatakan bersalah telah melakukan penggelapan pajak daripada membuktikannya bersalah terhadap kejahatan asal (predicate crime) seperti pembunuhan, pemerasan, atau penjualan minuman keras tanpa izin yang telah menghasilkan banyak harta kekayaan tidak sah.
Orang yang paling berpengaruh terhadap kesuksesan Alcapone dalam mengorganisir kejahatannya adalah Meyer Lansky, yang lebih dikenal sebagai seorang pembunuh bayaran dan pendiri “Murder Incorporated”. Lansky juga merupakan konsultan keuangan Alcapone sehingga digelari “the Mob’s Accountant”. Lansky tahu benar bagaimana cara menata hubungan yang baik antara kejahatan terorganisir, perusahaan, dan politik. Salah satu mitra kerja Lansky adalah gangster Yahudi di Newyork bernama Arnold “The Big Bankroll” Rothstein. Lansky banyak belajar dari Rothstein yang memiliki kedekatan secara politik dengan berbagai pejabat pemerintahan yang korup dengan tujuan untuk melindungi kejahatan terorganisirnya. Dengan kondisi yang mendukung tersebut, Lansky sengaja mendirikan perusahaan illegal (front company) yang sekaligus dijadikan sebagai sarana pencucian uang. Teman dekat Lansky yang lain adalah Benyamin “Bugsy” Siegel, terkenal dengan prestasinya mendirikan perjudian di Las Vegas dengan dukungan keuangan dari Lansky.
Meyer Lansky menyembunyikan uang hasil kejahatannya dengan memanfaatkan beberapa rekening di bank Swiss yang terkenal menganut sistem kerahasiaan bank yang sangat ketat. Dengan fasilitas Bank Swiss, Lansky bisa memanfaatkan ‘fasilitas perolehan kredit’ untuk menyamarkan uang haram miliknya sehingga seolah-olah merupakan ’perolehan kredit’ dari bank-bak asing yang diperlakukan sebagai ‘pendapatan’ jika perlu. Hal ini dilakukan untuk menghindari kewajiban pajak.
Tujuan dari keseluruhan upaya yang dilakukan tersebut di atas adalah untuk mencuci uang senilai ratusan juta dollar. Kegiatan ini dilakukan Meyer Lansky selama hidupnya hingga akhirnya meninggal dunia pada tahun 1983. Dia terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak dan tindak pidana terkait lainnya, dan tidak pernah dipenjara atas tindakannya melakukan pencucian uang.
Pada saat itu masyarakat internasional belum memiliki perangkat hukum internasional yang dapat dijadikan dasar untuk memerangi kejahatan money laundering secara sporadis.
Seiring dengan kemajuan teknologi yang menunjang sistem transmisi keuangan dan perbankan, maka praktek pencucian uang semakin marak dan terorganisir hingga tingkat yang menghawatirkan.
KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG
Pemikiran tentang berbahayanya praktik pencucian uang dan strategi pemberantasannya, sebetulnya diawali dengan kegagalan internasional dalam upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius dengan segala jenisnya. Sebenarnya di sinilah merupakan awal ispirasi yang pada akhirnya melahirkan istilah money laundering pada tahun 1986 (USA) dan kemudian dipakai secara international.
Namun sebenarnya istilah money laundering dalam artian hukum digunakan pertama kali oleh Pengadilan Amerika berkaitan dengan putusan tentang penyitaan atas hasil kejahatan narkotika yang dilakukan oleh warga Columbia. Kekhawatiran internasional terhadap narkotika dan pencucian uang melahirkan suatu kesepakatan yang disebut sebagai International Legal Regime to Combat Money Laundering dan bahkan ada kecenderungan bahwa pencucian uang dilakukan dengan sangat rumit. Selanjutnya pencucian uang semakin berkembang dan bukan hanya yang berasal dari kejahatan obat bius saja tetapi juga berbagai kejahatan termasuk kejahatan terorganisasi (organized crimes).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional pertama yang mengambil gagasan untuk menyusun perangkat hukum internasional memerangi money laundering. Lahirnya rezim hukum internasional untuk memerangi kejahatan pencucian uang dengan dikeluarkannya United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Substances 1988 (Vienna Convention 1988 atau biasa disebut UN Drugs Convention), dimulai pada saat masyarakat internasional merasa frustrasi dalam memberantas kejahatan perdagangan gelap obat bius. Hal ini dapat dimengerti mengingat obyek yang diperangi adalah organized crime yang memiliki struktur organisasi yang solid dengan pembagian wewenang yang jelas, sumber pendanaan yang sangat kuat dan memiliki jaringan kerja yang melintasi batas negara. Rezim hukum internasional anti pencucian uang dapat dikatakan merupakan langkah maju ke depan dengan strategi yang tidak lagi difokuskan pada kejahatan obat biusnya dan menangkap pelakunya, tetapi diarahkan pada upaya memberangus hasil kejahatannya.
Perangkat Regulasi tentang kriminalisasi Pencucian Uang kemudian dielaborasi dalam konvensi Palermo (United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime, Palermo 2000) yang mana secara tegas memasukkan Pencucian Uang dalam urutan pertama International Serious Crime serta mewajibkan negara anggotanya untuk menempatkan tindak pidana Pencucian Uang dalam kategori Predicate Offence (Kejahatan Asal) .
Berdasarkan konvensi-konvensi internasional tersebut RI telah meratifikasi dengan UU No 7 tahun 1997. Implementasi ratifikasi ini baru pada tahun 2002 RI membuat UU No 15 tahun 2002 menyatakan bahwa money laundering sebagai tindak pidana. UU No 15 tahun 2002 kemudian diubah dengan UU No 25 tahun 2003.
3. Tipologi Pencucian Uang
MODEL SCHAAP DAN ARS
Cees Schaap mengemukakan banyak model untuk melakukan kejahatan pencucian uang. Diantara model pencucian uang yang paling lazim adalah :
• Model dengan operasi C-Chase. Model ini menyimpan uang di bank diba-wah ketentuan sehingga bebas dari kewajiban lapor transaksi keuangan (Non Currency Transaction Reports) dan melibatkan bank luar negeri dengan memanfaatkan tax haven.
• Model pizza connection. Model ini memanfaatkan sisa uang yang ditanam di bank untuk mendapatkan konsesi Pizza, dan melibatkan negara tax haven dengan memanfaatkan ekspor fiktif.
• Model La Mina. Model ini memanfaatkan pedagang grosir emas dan permata dalam negeri dan luar negeri.
• Model dengan penyelundupan uang kontan ke negara lain. Model ini mem-pergunakan konspirasi bisnis semu dengan system bank parallel.
• Model dengan melakukan perdagangan saham di Bursa Efek.Model ini melakukan kerja sama dengan lemabaga keuangan yang bergerak di bursa efek.
Selain yang dikemukakan oleh Schaap diatas, terdapat juga model ARS (Alternative Remittance System). Model ini merujuk pada jaringan transaksi finansial secara informal/tradisional yang menjalankan transfer uang antar negara diluar sistem perbankan yang syah (lihat gambar 1). Sebagaimana yang didefenisikan FATF-GAFI:
….. ARS, that is, any system used for transferring money from one location to another and generally operating outside the banking channels. The servicesencompassed by this broad definition of ARS range from those managed by large multinationalcompanies to small local networks. They can be of a legal or illegal nature and make use of a variety of methods and tools to transfer the money.
Oleh FATF, metode ini dianggap telah disalah gunakan dalam beberapa dekade terakhir untuk tujuan-tujuan ilegal khususnya Pencucian Uang dalam kaitannya dengan Tindak Kejahatan Terorisme.
Bentuk ARS ini banyak dilakukan di China. India dan Pakistan, melalui suatu jaringan atau sindikat etnik yang sangat rahasia. Di China dilakukan dengan memanfaatkan semacam bank rahasia atau disebut hui (hoi) atau The Chinese Chip (Chop), di India dilakukan melalui sistem pengiriman uang tradisional yang disebut hawala, dan di Pakistan disebut hundi atau Khandahari Bazaar.
MODUS OPERANDI
Mahmoeddin, H.AS yang dikutip oleh Munir Fuady mengemukakan ada 8 (delapan) modus operandi pencucian uang :
1. Kerjasama Penanaman Modal
Uang hasil kejahatan dibawa ke luar negeri. Kemudian uang itu dimasukkan lagi ke dalam negeri lewat proyek penanaman modal asing (joint venture). Selanjkutnya keuntungan dari perusahaan joint venture diinvestasikan lagi ke dalam proyek-proyek yang lain, sehingga keuntungan dari proyek terse-but sudah uang bersih bahkan sudah dikenakan pajak.
2. Kredit Bank Swiss
Uang hasil kejahatan diselundupkan dulu ke luar negeri lalu dimasukkan di bank tertentu, lalu di transfer ke bank Swiss dalam bentuk deposito. Deposito dijadikan jaminan hutang atas pinjaman di bank lain di negara lain. Uang dari pinjaman ditanamkan kembali ke negara asal dimana kejahatan dilakukan. Atas segala kegiatan ini menjadikan uang itu sudah bersih.
3. Transfer ke luar Negeri
Uang hasil kejahatan ditransfer ke luar negeri lewat cabang bank luar negeri di negara asal. Selanjutnya dari luar negeri uang dibawa kembali ke dalam negeri oleh orang tertentu seolah-olah uang itu berasal dari luar negeri.
4. Usaha Tersamar di dalam Negeri
Suatu perusahaan samaran di dalam negeri didirikan dengan uang hasil keja-hatan. Perusahaan itu berbisnis tidak mempersoalkan untung atau rugi. Akan tetapi seolah-olah terjadi adalah perusahaan itu telah menghasilkan uang bersih.
5. Tersamar Dalam Perjudian
Uang hasil, kejahatan didirikanlah suatu usaha perjudian, sehingga uang itu dianggap sebagai usaha judi. Atau membeli nomor undian berhadiah dengan nomor menang dipesan dengan harga tinggi sehingga uang itu dianggap se-bagai hasil menang undian.
6. Penyamaran Dokumen
Uang hasil kejahatan tetap di dalam negeri. Keberadaan uang itu didukung oleh dokumen bisnis yang dipalsukan atau direkayasa sehingga ada kesan bahwa uang itu merupakan hasil beberbisnis yang berhubungan dengan do-kumen yang bersangkutan. Rekayasa itu misalnya dengan melakukan double invoice dalam hal ekspor impor sehingga uang itu dianggap hasil kegiatan ekspor – impor.
7. Pinjaman Luar Negeri
Uang hasil kejahatan dibawa ke luar negeri. Kemudian uang itu dimasukkan lagi ke dalam negeri asal dalam bentuk pinjaman luar negri. Sehingga uang itu dianggap diperoleh dari pinjaman (bantuan kredit ) dari luar negeri.
8. Rekayasa Pinjaman Luar Negeri.
Uang hasil kejahatan tetap berada di dalam negeri. Namun dibuat rekayasa dokumen seakan-akan bantuan pinjaman dari luar negeri
METODE
NHT Siahaan mengemukakan ada tiga metode yang dipergunakan melaku-kan pencucian uang, sbb:
1. Buy and Sell Conversions
Metode ini dilakukan meallui transaksi barang dan jasa. Suatu aset dapat dijual kepada konspirator yang bersedia membeli atau menjual lebih mahal dengan mendapatkan fee atau deskon. Selisih harga yang dibayar kemudian dicuci secara transaki bisnis. Barang atau jasa dapat diubah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank
2. Offshore Conversions
Uang hasil, kejahatan dikonversi ke dalam wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenagkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money laun-dering centers) untuk kemudian di depositokan di bank yang berada di wila-yah tersebut. Negara yang termasuk atau berciri tax heaven memang terdapat system hukum perpajakan yang tidak ketat. Akan tetapi system rahasia bank sangat ketat. Birokrasi bisnis cukup mudah untuk memungkinkan adanya ra-hasia bisnis yang ketat serta pembentukan usaha trust fund. Untuk mendu- kung usaha itu pelaku memakai jasa pengacara, akuntan dan konsultan keuangan dan para pengelola dana yang handal untuk memanfaatkan segala cela yang ada di negara itu.
3, Legitimate Business Conversions
Metode ini dengan melakukan kegiatan bisnis yang sah sebagai cara peng-alihan atau pemanfaatan hasil uang kotor. Uang kotor kemudian dikonversi secara transfer, cek atau alat pembayaran lain untuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke rekening bank lainnya. Biasanya pelaku bekerja sama dengan perusahaan yang rekeningnya dapat digunakan sebagai terminal untuk menampung uang kotor.
INSTRUMEN.
Instrumen yang dimaksud berupa lembaga penyedia jasa baik penyedia jasa keuangan berupa bank ataupun non bank maupun non keuangan. Ada 8 (delapan) Instrumen yang dipergunakan dalam pencucian uang. yaitu :
• Bank dan Lembaga Keuangan lainnya
• Perusahaan Swasta
• Real estate
• Deposit Taking Institution dan Money Changer
• Institusi Penanaman Uang Asing
• Pasar Modal dan Pasar uang.Menurut UU No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan public yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. (Pasasl 1 angka 13). Pasar Uang adalah sarana yang menyediakan pembaiayaan jangka pendek (kurang dari satu tahun). Pasar uang tidak mempunyai tempat fisik seperti pasar modal. Pasar uang memperdagangkan antara lain : surat berharga pemerintah, sertifikat deposito,surat perusahaan seperti aksep, dan wesel. Lemabaga – lembaga yang aktif dalam pasar uang adalah bank komersial, merchant banks, bank dagang, penyalur uang, dan bank sentral .
• Emas dan Barang Antik
• Kantor konsultan keuangan
TAHAPAN PENCUCIAN UANG
Meskipun dalam perkembangannya praktek pencucian uang telah mengalami perubahan dan menggunakan berbagai sistem dan teknologi yang canggih, akan tetapi tahapan/proses pencucian uang tetap mengacu pada karakteristik umum, yakni :
• Placement. Tahap ini upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam system keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, weselbank, sertifikat deposito, dll) kembali ke dalam system keuangan, terutama system perbankan.
• Layering. Upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement ) ke penyedia jasa keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering, akan menjadi sulit bagi pene-gak hukum untuk dapat mengetahui assal usul harta kekayaan tersebut.
• Integration. Upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang te-lah berhasil masuk ke dalam system keuangan melalui penempatan atau trans-fer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
4. Implikasi Praktek Pencucian Uang
Para pelaku pencucian uang secara kolektiv melakukan praktek pencucian uang antara 500 milyard USD sampai 1 trilliun USD setiap tahunnya. Hal ini jelas menimbulkan efek yang mengguncang sendi sosial, ekonomi, dan keamanan secara global.
Berhasilnya suatu proses pencucian uang berarti Aktivitas Kejahatan telah terbayar tanpa kendala sedikitpun. Hal ini memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para penyelundup dan para penjahat lainnya dapat memperluas kegiatannya. Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan hukum untuk memberantasnya, dan biaya perawatan serta pengobatan kesehatan bagi para korban atau para pecandu narkoba.
Meningkatnya penipuan, penggelapan dalam perusahaan (yang berarti memperbesar kemungkinan para karyawan kehilangan pesangon mereka pada saat perusahaan mengalami kebangkrutan), semakin meningkatnya peredaran Narkoba, semakin meningkatnya kejahatan akibat narkoba, semakin besarnya kemungkinan penyelewengan oleh para aparat hukum, dan menurunya moral masyarakat wirausaha akibat munculnya jargon : tidak curang berarti tidak untung.
Mempunyai potensi untuk merongrong masyarakat keuangan (financial community) sebagai akibat demikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran uang haram dalam jumlah besar.
Pencucian uang mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak, dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.
Mudahnya uang masuk ke suatu negara telah menarik unsur yang tidak diinginkan melalui perbatasan, menurunkan tingkat kualitas hidup, dan meningkatkan kekawatiran terhadap keamanan masyarakat.
Implikasi faktual dari praktek pencucian uang ini merupakan titik tolak fundamental dari kriminalisasi pencucian uang serta pembentukan Rezim Anti Pencucian Uang secara Global.
III. REZIM ANTI PENCUCIAN UANG INTERNASIONAL
1. Kasus Pencucian Uang Dalam Peta Kejahatan Transnasional
Kejahatan transnasional mulai mencuat pada dekade 90 an seiring dengan momentum berakhirnya masa perang dingin US – Sovyet dan semakin maraknya wacana globalisasi, organisasi kriminal saling berlomba untuk mengembangkan operasinya ke manca negara khususnya negara-negara berkembang yang institusi dan sistem penegakan hukumnya masih cenderung lemah, dan penduduknya memiliki alternatif terbatas dalam aktivitas ekonomi .
Kejahatan Transnasional memiliki interkoneksitas yang tinggi dengan Pencucian Uang. Jaringan pencucian uang terorganisir seperti The Spence Money Laundering Network dan Cuntrera – caruana Clan sangat bergantung pada komponen jaringan/organisasi transnasional lainnya guna memperoleh jaminan kondusifitas menjalankan proses Pencucian Uang . Sementara itu setiap komponen yang terkait dengan kejahatan transnasional terorganisir (terorisme, perdagangan obat bius, perdagangan manusia, dan sebagainya) akan bermuara pada praktek pencucian uang sebagai upaya me-legal-kan hasil operasi kriminal mereka.
Seiring dengan semakin meningkatnya volume kejahatan transnasional terorganisir khususnya pada kejahatan pencucian uang, maka dalam Konvensi Palermo 2000, kejahatan Pencucian Uang ditempatkan pada peringkat pertama diantara 17 jenis International Serious Crime
Adapun beberapa kasus populer pencucian uang yang tergolong sebagai kejahatan teroraganisir diantaranya adalah kasus Bank of Credit & Commerce International (BCCI), Pizza Connection, Penyelundupan uang dan Kasus Nusse.
Kasus Bank of Credit & Commerce International (BCCI)
Kasus BCCI merupakan salah satu kasus pencucian uang yang sangat populer dan berbeda dengan beberapa kasus besar lainnya, kasus BCCI sama sekali tidak memiliki kaitan dengan sindikat perdagangan obat bius . BCCI mempergunakan model Operasi C-Chase, modus kerja sama penanaman modal, metode legitimate business conversions dan dengan instrument bank dan lembaga keuangan lainnya.
Kasus Bank of Credit & Commerce Internasional (BCCI) tahun 1991. Bank of Credit & Commerce Internasional (BCCI) mengalami kemajuan sekitar tahun1970 hingga tahun 1980. BCCI banyak mempunyai anak cabang di Timur Tengah, Eropa, Afrika, Asia dan di Amerika Serikat mempunyai anak perusahaan berupa First American Bank of Washington sekaligus memiliki cabang di seluruh kota besar di Amerika Serikat. Selain itu BBCCI mempunyai bank terafiliasi di Negara Negara tax haven, seperti Luxemburg atau Cayman Islands. BCCI menggunakan tenaga konsultan manajemen.
Kasus pencucian uang yang dilakukan lewat BCCI adalah dengan menggunakan tenaga konsultan manajemen. Salah satu kasus BCCI adalah dibukanya rekening di BCCI oleh sebuah kantor konsultan keuangan yang mengatakan mempunyai klien berupa investor kaya di negara Amerika Latin. Rekening tidak aktif selama 6 bulan lalu mendadak ada masuk dana melalui telegram berkali kali dalam jumlah yang besar. Lalu Direktur dari kantor konsultan keuangan tersebut memerintahkan mentransfer sebagian besar dananya kesebuah rekening bank di Panama via bank besar di New York. Jenis-jenis kejahatan money laundering yang dilakukan BCCI berhubungan dengan perda-gangan obat bius./ BCCI bertindak sebagai penyalur uang hasil transaksi itu. Kemudian tahun 1990 Dinas Bea dan Cukai Amerika Serikat berhasil membongkar jaringan per-dagangan obat bius yang melibatkan BCCI sebagai penyalur uangbhasilm transaksi. Kasus BCCI lain, BCCI pernah membeli sebuah bank di Kolombioa yang mempunyai 30 cabang di seluruh Kolombia, sepertio di Madelin dan Cali yang terkenal dengan pusat kartel narkotika.
Pada suatu saat BCCI berperilaku sebagai Godfather. Hal ini dilakukan ketika negara Jamaika ditolak kredit sebanyak US $ 60 Juta dari dana Moneter International, karena kredit lamanya belum lunas. BCCI sebagai Godfather datang dengan menawar-kan kredit sebesar US $ 40 Juta, dengan syarat agar Bank Sentral Jamica menyerahkan bisnisnya kepada BCCI, dan hal ini dipenuhi oleh Jamaica
Kasus Pizza Connection
Kasus Pizza Connection ini mempergunakan model tersendiri yang disebut “model Pizza Connection”. Pizza Connection ini banyak mempunyai restoran Pizza yang mengalirkan uang haram. Modus operandi yang dipergunakan adalah kerjasama penanaman modal dan transfer ke luar negeri. Metode dipergunakan metode offshore Conversion. Instrumen yang dipergunakan adalah bank.
Kasus Pizza Connection merebak pada tahun 1984 yang ditangani oleh pihak polisi International (Interpol). Kasus ini melibatkan Gaetano Badalmenti (Don Tano) salah seorang pimpinan kelompok mafia sisilia (mobs). Investigasi kasus ini ditangani secara bersama oleh investigator Amerika Serikat dan Italy yang dipimpin oleh Hakim Italy Judge Falcone.Restoran Pizza yang tersebar dimana-mana banyak menghasilkan uang haram sebagai hasil perdagangan obat bius di Amerika Serikat. Uang ini sebagian dipergunakan dan ditanam untuk mendapat konsesi pizza, selebihnya lewat negara tax haven di Karibia dan Swiss. Uang tersebut diberikan kepada anggota mafia di Sicilia dalam bentuk pembayaran terhadap ekspor juice buah-buahan ke Rumania, Bulgaria dan Libanon, Padahal ekspor tersebut fiktif. Sasaran yang dituju adalah untuk mendapatkan uang masyarakat Eropa terhadap reimbursements ekspornya.
Kasus Nusse.
Kasus Nusse mempergunakan model perdagangan saham, modus operandi kerjasama penanaman modal, metode Legitimate business Conversions, dengan instrument Pasar modal dan lembaga keuangan bank
Kasus Nusee terdeteksi di Belanda dengan bursa efek Amesterdam yang melibatkan perusahaan efek Nusse Brink Commissionairs di Pasar Modal.
Nussee mempunyai beberapa klien yang merupakan pelaku pencucian uang. Nusse Brink membuat 2 rekening bagi kliennya. Satu rekening untuk transaksi menderita kerugian, satunya lagi untuk transaski memperoleh untung. Rekening dibuka di tempat yang sangat rahasia sehingga tidak terdeteksi siapa pemilik uang.
2. Terbentuknya FATF
Menanggapi semakin mencuatnya kasus pencucian uang secara global, serta menyadari ancaman praktek pencucian uang terhadap sistem perbankan dan institusi-institusi keuangan global, maka pada Konferensi Tingkat Tinggi G-7 1989 di Paris , Kepala negara dan pemerintahan G7 serta Presiden Komisi Eropa membentuk panitia penanggulangan yang terdiri dari negara-negara anggota G7, komisi eropa dan enam negara lainnya yang dikenal dengan Financial Action Task Force (FATF) atau Groupe d’action financière sur le blanchiment de capitaux (GAFI) .
FATF diberi tanggung jawab dan wewenang dalam memantau perkembangan trend dan teknik pencucian uang, menganalisa kasus yang telah terjadi baik tingkat nasional maupun internasional, serta menyusun suatu kerangka dasar tindakan dalam upaya memerangi tindak pidana pencucian uang
Institusi yang kini memiliki 34 anggota ini, sejak awal pembentukannya telah mempelopori perancangan kerangka/tolak ukur tindakan guna memerangi penyalah gunaan sistem finansial oleh pelaku kejahatan pencucian uang. Guna mengantisipasi perkembangan wacana Pencucian Uang, FATF melakukan berbagai revisi terhadap rekomendasi yang dikeluarkannya serta merancang suatu rencana tindakan penanggulangan kejahatan Pencucian Uang yang dapat digunakan secara universal.
3. Rekomendasi 40 + 9 FATF
Sejauh ini FATF telah mengeluarkan 40 rekomendasi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang (”FATF Forty Recommendations”) serta 9 (sembilan) rekomendasi khusus untuk memberantas pendanaan terorisme (“FATF Eight Special Recommendations on Terrorist Financing”), termasuk diantaranya 1 (satu) rekomendasi khusus tentang Cash Courier yang baru dikeluarkan FATF pada sidang pleno bulan Oktober 2004 yang lalu. Empat puluh rekomendasi tersebut mencakup 4 (empat) bidang yaitu legal system, financial and nonfinancial businesses measures, institutional measures, and international co-operation.
4. NCCTs (FATF BlackList)
Untuk mengevaluasi tingkat kepatuhan suatu negara terhadap rekomendasi yang dikeluar-kannya, FATF mengeluarkan NCCTs (Non-Cooperative Countries and Territories) Initiative yang bertujuan untuk mengetahui negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Evaluasi berdasarkan NCCTs Initiative ini menggunakan 25 kriteria (yang mengacu pada 40 recommendation) untuk mengetahui praktek dan ketentuan di suatu negara yang masih belum sejalan dengan rekomendasi FATF.
Keduapuluhlima kriteria tersebut terbagi dalam 4 (empat) kelompok besar yaitu :
• Loopholes in financial regulations (11 kriteria);
• Obstacles raised by other regulatory requirements (3 kriteria);
• Obstacles to international cooperation (8 kriteria);
• Inadequate resources for preventing and detecting money laundering activities (3 kriteria).
Evaluasi ini dilakukan oleh FATF terhadap negara-negara yang dinilai mempunyai potensi terjadinya praktik pencucian uang.
Evaluasi berdasarkan NCCTs Initiative ini dilakukan pertama kalinya pada Juni 2000 dan selanjutnya secara regular dilakukan oleh FATF. Evaluasi pertama ini menghasilkan 15 negara masuk dalam daftar NCCTs. Sebagai negara yang dipan-dang mempunyai potensi sebagai tempat untuk dilakukannya praktik pencucian uang, Indonesia tidak luput dari penilaian FATF terhadap pemenuhan rekomendasi-rekomendasi yang telah dikeluarkannya.
5. Masuknya Indonesia Dalam Daftar NCCTs
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh FATF dengan berpedoman pada NCCTs Initiative , pada bulan Juni 2001 Indonesia bersama 5 negara lainnya dimasukkan ke daftar NCCTs, sehingga pada posisi Juni 2001 yang masuk ke dalam daftar NCCTs berjumlah 17 negara, karena pada saat yang sama terdapat pula 4 negara yang keluar dari daftar tersebut.
Masuknya Indonesia ke dalam daftar NCCTs tersebut disebabkan Indonesia dinilai memenuhi (fully met) 9 (sembilan) kriteria dan sebagian memenuhi (partially met) untuk 4 (empat) kriteria.
Ketigabelas kriteria tersebut tersebar di seluruh 4 (empat) kelompok besar tersebut diatas, yang mengandung arti bahwa Indonesia mempunyai kelemahan di semua empat sector tersebut.
Diantara empat kelompok tersebut, Indonesia dinilai mempunyai kelemahan paling besar pada kelompok 1 dan 4 yaitu masih banyaknya celah pada pengaturan sektor industri keuangan (Loopholes in financial regulations) dan belum ada-nya sarana yang memadai dalam mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang (Inadequate resources for preventing and detecting money laundering activities).
Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang diidentifikasi oleh FATF tersebut, secara garis besar kelemahan tersebut adalah sebagai berikut :
• Belum adanya undang-undang yang mengkriminalisasi kejahatan pencucian uang;
• Belum dibentuknya Financial Intelligence Unit (FIU);
• Belum adanya kewajiban pelaporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan ke FIU;
• Ketentuan mengenai Know Your Customer principles baru saja diperkenalkan, namun
• masih hanya yang terkait dengan sektor perbankan; dan
• Kurangnya kerjasama internasional
IV. REZIM ANTI PENCUCIAN UANG DI INDONESIA
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa berbagai kelemahan dalam upaya penanganan kasus pencucian uang yang terjadi serta beberapa faktor rentan lainnya mengakibatkan Indonesia masuk dalam daftar hitam FATF (NCCTs).
Sadar akan besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dengan masuknya Indonesia dalam daftar NCCTs tersebut membuat pemerintah Indonesia segera melakukan berbagai langkah perbaikan yang konkrit, khususnya dalam upaya mengatasi berbagai kelemahan yang disorot oleh FATF.
1. Perjalanan Rezim Anti Pencucian Uang Di Indonesia
A. Periode tahun 2001 – 2002
Langkah tersebut diawali dengan disahkannya Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada tanggal 17 April 2002. Beberapa hal pokok yang telah diatur dalam UU TPPU tersebut antara lain adalah:
• Secara tegas menyatakan bahwa pencucian uang adalah suatu kejahatan;
• Memerintahkan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai focal point dengan tugas pokok mengkoordinasikan langkah-langkah pemberantasan kejahatan pencucian uang;
• Kewajiban penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan tunai dengan batasan Rp 500 juta dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada PPATK dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari; dan
• Pengecualian pelaksanaan kerahasiaan bank dalam rangka penerapan UU TPPU Telah diundangkannya UU TPPU tersebut menjadi tonggak awal dalam pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia.
Namun demikian, upaya awal tersebut masih belum mampu mengeluarkan Indonesia dari daftar NCCTs. Meskipun dikeluarkannya UU TPPU tersebut diakui oleh FATF sebagai langkah yang signifikan dalam proses pembangunan rezim anti pencucian uang, namun dirasakan masih belum sepenuhnya mengakomodir FATF 40 dan 8 recommendation dan international best practice. Berkaitan dengan hal tersebut, melalui suratnya tanggal 3 Juli 2002 (hasil sidang rapat pleno FATF 18-21 Juni 2002) dan 24 Oktober 2002 (hasil sidang rapat pleno FATF 9-11 Oktober 2002), FATF menegaskan terdapat 10 (sepuluh) hal yang harus diperhatikan oleh Indonesia untuk dapat membangun rezim anti pencucian yang efektif dan memenuhi international best practice, yaitu :
1. Belum adanya kerangka pengaturan yang komprehensif dalam kaitannya dengan standar anti pencucian uang untuk lembaga keuangan non-bank, seperti asuransi dan stockbrokers.
2. Belum adanya ketentuan tentang fit and proper test untuk lembaga keuangan non-bank.
3. Belum adanya ketentuan tentang know your customer untuk lembaga keuangan non-bank.
4. Perlunya memperluas pengertian transaksi keuangan yang mencurigakan dalam UU TPPU, sehingga termasuk kewajiban melaporkan transaksi yang diduga menggunakan dana hasil dari kejahatan.
5. Belum adanya ketentuan larangan pemberian informasi (“tipping off”) dalam UU TPPU.
6. Perlunya mempersingkat jangka waktu pelaporan transaksi keuangan mencurigakan dari PJK kepada PPATK, karena 14 hari dinilai terlalu lama.
7. Perlunya meniadakan batasan (threshold) hasil kejahatan (proceed of crime) yang dalam UU TPPU ditetapkan sebesar Rp 500 juta.
8. Adanya potensi untuk tidak dapat membekukan dan menyita hasil kejahatan yang besarnya dibawah batasan Rp 500 juta.
9. Belum adanya ketentuan yang mengatur bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance), dan 10. Belum beroperasinya PPATK sebagai FIU.
B. Periode tahun 2003 – 2004
Untuk mengatasi berbagai kelemahan (deficiencies) sebagaimana dikemukakan oleh FATF tersebut, Pemerintah Indonesia kembali mengambil berbagai langkah dan upaya dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Langkah dan upaya tersebut meliputi aspek penguatan kerangka hukum, peningkatan pengawasan di sektor keuangan, operasionalisasi PPATK, dan penguatan kerjasama antar lembaga domestik dan internasional.
1. Penguatan Kerangka Hukum
Dalam rangka mengakomodir rekomendasi FATF, UU TPPU dinilai perlu untuk disempurnakan sebagai langkah antisipatif atas berbagai perkembangan yang terjadi di dalam negeri maupun untuk memenuhi international best practice sebagaimana dituangkan dalam 40 rekomendasi dan 8 rekomendasi khusus yang telah dikeluarkan oleh FATF pada saat itu.
Upaya perbaikan dan penyempurnaan undang-undang tersebut pun akhirnya dapat diselesaikan oleh pemerintah RI dengan diundangkannya Undang-Undang No.25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pada tanggal 13 Oktober 2003 (UU TPPU). Beberapa perubahan yang mendasar antara lain adalah:
• penghapusan definisi hasil tindak pidana yang dikaitkan dengan jumlah uang sebesar Rp 500 juta;
• perluasan tindak pidana asal dari 15 jenis menjadi 25 jenis, termasuk di dalamnya tindak pidana lainnya sepanjang ancaman pidananya 4 tahun atau lebih;
• perluasan definisi transaksi keuangan mencurigakan, sehingga termasuk transaksi yang diduga menggunakan dana hasil dari kejahatan;
• penambahan ketentuan anti-tipping off;
• pengurangan masa pelaporan transaksi keuangan mencurigakan dari 14 (empat belas) hari menjadi 3 (tiga) hari;
• penambahan ketentuan mengenai bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance).
Langkah lain yang dilakukan pemerintah RI dalam rangka penguatan kerangka hukum di bidang TPPU adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Saksi dan Pelapor Tindak Pidana Pencucian Uang.
Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mengatur tentang bentuk dan tata cara perlindungan yang diberikan kepada saksi dan pelapor yang meliputi antara lain kerahasiaan identitas pelapor, perlindungan atas keamanan pribadi dan atau keluarganya dari ancaman fisik dan mental, pemberian hak untuk tidak bertatap muka dengan tersangka dan kuasa hukumnya.
2. Penguatan Pengawasan Sektor Keuangan
Langkah penguatan kerangka hukum ini diikuti pula oleh serangkaian regulasi yang dikeluarkan oleh instansi pengawas penyedia jasa keuangan (PJK), yaitu Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank, Ditjen Lembaga Keuangan Depar-temen Keuangan sebagai otoritas pengawas lembaga keuangan non bank serta Bapepam sebagai otoritas pengawas perusahaan sekuritas. Berbagai regulasi yang dikeluarkan tersebut terutama berkaitan dengan pelaksanaan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer-KYC) yang mempunyai keterkaitan yang erat dengan pembangunan rezim anti pencucian uang. Berbagai regulasi tersebut antara lain:
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles), berikut dengan perubahan pertama PBI No.3/23/ PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 dan perubahan kedua PBI No.5/21/PBI/2003 tanggal 17 Oktober 2003.
2. Peraturan Bank Indonesia No.5/23/PBI/2003 tanggal 4 Desember 2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) bagi Bank Prekreditan Rakyat.
3. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal No.KEP-02/PM/2003 tanggal 15 Januari 2003 tentang Prinsip Mengenal Nasabah.
4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.45/KMK.06/2003 tanggal 30 Januari 2003 tentang Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank.
5. Peraturan Bank Indonesia No.6/1/PBI/2004 tanggal 6 Januari 2004 tentang Pedagang Valuta Asing.
6. Selain regulasi yang terkait dengan pelaksanaan prinsip mengenal nasabah, Departemen Keuangan telah pula menge-luarkan ketentuan yang mengatur pelaksanaan fit and proper test untuk manajemen lembaga keuangan nonbank.
3. Operasionalisasi PPATK
UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 secara tegas mengamanatkan pendirian PPATK sebagai lembaga sentral (focal point) yang mengkoordinasikan pelaksanaan UU TPPU. PPATK diresmikan pada tanggal 17 Oktober 2003 oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, dan mulai saat itu telah beroperasi secara penuh. Sebelum PPATK beroperasi secara penuh tersebut, tugas menerima laporan dari industri perbankan dilakukan oleh Unit Khusus Investigasi Perbankan, Bank Indonesia.
Berbagai upaya dilakukan untuk menunjang operasio-nalisasi PPATK, antara lain dengan dikeluarkannya Keppres No.81 Tahun 2003 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja PPATK,
Keppres No.82 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Kewenangan PPATK, Keppres No.3 Tahun 2004 tentang Sistem Kepegawaian PPATK. Rancangan Keppres Tentang Sistem Penggajian dan Renumerasi PPATK hingga saat ini belum disahkan. Saat ini PPATK dipimpin oleh seorang Kepala dan 4 (empat) orang Wakil Kepala yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden dan diambil sumpahnya di hadapan Ketua Mahkamah Agung. Untuk kelancaran operasionalisasi PPATK, pemerintah RI menyediakan anggaran melalui mekanisme APBN.
Untuk melengkapi ketentuan yang telah dikeluarkan oleh otoritas pengawas PJK, khususnya yang terkait dengan penerapan KYC, PPATK juga mengeluarkan 6 (enam) pedoman yang dimaksudkan untuk memudahkan PJK dalam melakukan kewajiban pelaporan kepada PPATK dalam bentuk Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT). Sejak beroperasi penuh pada tanggal 17 Oktober 2003, PPATK telah dapat menerima LTKM secara langsung dari PJK. Penyampaian LTKM oleh PJK dapat dilakukan baik secara manual maupun on-line. Jumlah LTKM yang diterima oleh PPATK menunjukkan tendensi yang meningkat, demikian pula halnya dengan jumlah PJK yang telah menyampaikan laporan. Dalam kurun waktu 29 bulan sebelum beroperasinya PPATK secara penuh pada 17 Oktober 2003, terdapat 291 LTKM yang telah diterima melalui Bank Indonesia. Sementara itu per posisi 17 Juni 2005, jumlah PJK yang menyampaikan LTKM tercatat sebanyak 90 bank umum, 1 BPR dan 16 lembaga keuangan nonbank (perusahaan asuransi, sekuritas, pedagang valuta asing, lembaga pembiayaan dan dana pensiun) dengan total 2159 LTKM.
Sementara itu untuk LTKT, PPATK hingga tanggal yang sama telah menerima 1.252.689 LTKT dari 107 bank umum, 18 PVA, 7 BPR dan 1 perusahaan asuransi. Penyampaian LTKM dan LTKT dilakukan secara manual maupun on-line. Untuk kelancaran jalannya operasional PPATK dan memudahkan PJK dalam memenuhi kewajiban pelaporannya, telah dikembangkan sistem pelaporan yang disebut dengan TRACeS (Transaction Report Acquisition Electronic System) sejak tahun 2003. TRACeS merupakan sistem informasi pelaporan yang yang dapat dilakukan oleh PJK secara on-line. Sementara itu, guna menunjang tugas analisis, saat ini PPATK telah memiliki analytical tools dan data warehouse yang akan terus dikembangkan di kemudian hari.
4. Penguatan Kerjasama Antar Lembaga
Sebagaimana diatur dalam UU TPPU dan Keppres No.82 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Kewenangan PPATK, PPATK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dapat melakukan kerja sama dengan pihak yang terkait baik nasional maupun internasional. Dalam lingkup nasional, PPATK telah melakukan kerja sama yang dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman (MoU) dengan Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kepolisian Negara RIBapepam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan RI, Departemen Kehutanan dan CIFOR (Center for International Forestry Research) yaitu suatu lembaga penelitian internasional di bidang kehutanan. Kerja sama meliputi pertukaran informasi, pertukaran pegawai, capacity building dan hal-hal lain yang terkait dengan pelaksanaan rezim anti pencucian uang di Indonesia. Sementara itu untuk menunjang efektifnya pelaksanaan rezim anti pencucian uang di Indonesia, melalui Keputusan Presiden No.1 Tahun 2004 tanggal 5 Januari 2004, pemerintah RI membentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) yang diketuai oleh Menko Politik, Hukum dan Keamanan dengan wakil Menko Perekonomian dan Kepala PPATK sebagai sekretaris Komite. Anggota Komite TPPU lainnya adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN dan Gubernur Bank Indonesia. Komite ini bertugas antara lain merumuskan arah kebijakan penanganan tindak pidana pencucian uang dan mengkoordinasikan upaya penanganan pencegahan dan pemberantasannya.
Sementara itu dalam lingkup internasional, PPATK juga telah melakukan kerja sama yang dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman (MoU) dengan Thailand FIU (Anti Money Laundering Office), Malaysia FIU (Bank Negara Malaysia), Korea FIU (Koreas Financial Intelligence Unit), dan Australia FIU (Australian Financial Reports & Analysis Centre), Filipina FIU (Anti Money Laundering Council), Romania FIU (National Office for Prevention and Control Money Laundering), Belgium FIU (CTIF-CFI), Italian FIU (Ufficio Italiano dei Cambi), Spanyol FIU (Servicio Ejecutivo de la Comisi) dan Polandia FIU (Generalny Inspektor Informacij Finansowej/GIIF). Kerjasama dengan FIU negara lain tersebut terutama berkaitan dengan pertukaran informasi intelijen di bidang keuangan. Masih dalam kaitan dengan kerja sama internasional, pada tanggal 23 Juni 2004 PPATK secara resmi diterima sebagai anggota The Egmont Group. The Egmont Group (TEG) adalah suatu organisasi internasional informal yang dibentuk pada tahun 1995 di Egmont-Arenberg Palace di Brussel, Belgia. The Egmont Group beranggotakan Financial Inteligence Unit (FIU) dari berbagai negara, yang sebagian besar merupakan focal point dari rezim anti pencucian uang di masing-masing negara. Diterimanya PPATK sebagai anggota TEG ini menunjukan bahwa PPATK telah diterima dan diakui oleh dunia internasional sebagai FIU yang telah beroperasi secara penuh dan mempunyai kedudukan yang sama dengan FIU dari negara lainnya.
2. Indonesia Keluar Dari Daftar NCCTs
Selama melakukan on-site visit ke Indonesia, Tim Review FATF melakukan pertemuan dengan seluruh instansi teknis yang terkait dengan penanganan rezim anti pencucian uang di Indonesia, yaitu PPATK, Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, Departemen Hukum dan HAM, dan Departemen Luar Negeri. Tim FATF juga melakukan diskusi dengan beberapa PJK. Pertemuan-pertemuan tersebut dimaksudkan untuk menilai dan mengkonfirmasi kemajuan-kemajuan yang telah terjadi di Indonesia secara faktual sebagaimana telah disampaikan baik melalui tertulis maupun pertemuan bilateral sebelumnya. Berdasarkan on-site visit tersebut, Tim Review FATF menilai bahwa berbagai kemajuan berarti memang secara faktual terjadi di Indonesia. Perkembangan positif tersebut dicapai tidak saja dalam rangka menindaklanjuti berbagai rekomendasi yang disampai-kan oleh FATF sebelumnya namun juga untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi baik di domestik, regional maupun internasional.
Hasil on-site visit tersebut untuk selanjutnya dibahas pada sidang pleno FATF yang diselenggarakan di Paris pada tanggal 9-11 Februari 2005. Menimbang adanya perkembangan yang memadai dan berkelanjutan serta adanya komitmen yang kuat dari pemerintah Indonesia dalam membangun rezim anti pencucian uang, melalui surat tanggal 11 Februari 2005 akhirnya FATF memutuskan untuk mengeluarkan Indonesia dari daftar NCCTs. Sesuai dengan kebijakan FATF yang berlaku dalam proses pencabutan suatu negara dari daftar NCCTs (delisting procedure), FATF akan melakukan pemantauan (monitoring) yang pelaksanaannya akan dikoordinasikan dengan Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG) sebagai FATF-style regional body. Dalam fase monitoring ini, Indonesia diwajibkan menyampaikan laporan perkembangan penerapan rezim anti pencucian uang secara regular. Disamping itu, dalam fase monitoring ini juga akan dilakukan pertemuan bilateral dengan Tim Review FATF.
Dalam masa monitoring tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian khusus oleh pemerintah RI, yaitu:
i. Meningkatkan pelaporan transaksi keuangan mencuri-gakan, khususnya yang disampaikan oleh smaller banks;
ii. Meningkatkan capacity building bagi aparat penegak hukum, yaitu penyidik dan penuntut, dengan memfo-kuskan pada modus-modus tindak pidana pencucian uang (TPPU);
iii. Melaksanakan penanganan perkara TPPU secara efektif dan tepat waktu;
iv. Melaksanakan pemeriksaan (audit) terhadap Penyedia Jasa Keuangan secara tegas, yang harus diikuti pengenaan sanksi dalam ditemukan pelanggaran;
v. Mengundangkan RUU Tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance), dan memastikan efektifitas penerapannya; serta vi. Memenuhi komitmen untuk menyediakan anggaran dan sumber daya manusia yang memadai untuk seluruh instansi terkait, termasuk di dalamnya kewenangan pengangkatan pegawai tetap PPATK.
Selanjutnya FATF secara tegas menyatakan pula bahwa apabila Indonesia tidak dapat menunjukkan perkembangan yang memadai dan berkelanjutan terhadap beberapa hal tersebut di atas dalam rangka pembangunan rezim anti pencucian uang, maka FATF dapat memasukkan kembali Indonesia ke dalam daftar NCCTs.
3. Kelemahan Dalam Implementasi UU TPPU
Undang-Undang No.15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.25/2003 masih mengandung beberapa kelemahan (loopholes) yang cukup mendasar antara lain :
• kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretatif, adanya duplikasi penyebutan unsur-unsur dan banyaknya unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan, sehingga menyulitkan dalam hal pembuktian;
• kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi berikut bentuk-bentuk sanksinya;
• masih terbatasnya pihak pelapor (reporting parties) yang harus menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis pelaporannya;
• perlunya pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (know your customer principle) oleh seluruh pihak pelapor;
• terbatasnya instrumen formal untuk melakukan deteksi dan pentrasiran serta penyitaan aset hasil kejahatan;
• terbatasnya pihak yang berwenang melakukan penyidikan TPPU; dan
• keterbatasan kewenangan dari PPATK
4. Penyempurnaan Regulasi TPPU sebagai pemenuhan Standarisasi Internasional
Dalam rangka memenuhi kepentingan nasional dan keselarasan dengan standar internasional, sebagaimana diuraikan di atas, maka telah disusun RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai penyempurnaan atau pengganti dari UU TPPU yang berlaku saat ini. RUU ini hadir dengan semangat dan paradigma baru, yaitu mensinergikan upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU.
Arah, Tujuan dan Lingkup Pengaturan RUU
Secara umum, jangkauan atau arah pengaturan undang-undang dimaksud mencakup 5 (lima) hal utama, yaitu :
a. memperluas deteksi tindak pidana pencucian;
b. menghindari keragaman penafsiran dan atau menutup celah hukum (loopholes);
c. memperluas jangkauan aparat penegak hukum dalam penanganan TPPU ;
d. menata hubungan dan kewenangan dari pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan rezim anti pencucian uang, dan
e. memperkuat kelembagaan PPATK.
Sedangkan tujuannya adalah sebagai berikut:
a. memperkuat rezim anti pencucian uang di Indonesia;
b. mendukung dan meningkatkan efektifitas upaya penegakan hukum ;
c. memberikan dasar yang kuat dan kemudahan dalam pentrasiran dan penyitaan aset hasil tindak pidana sehingga menimbulkan efek jera bagi pelakunya ; dan
d. menyesuaikan dengan standar internasional yang telah mengalami perubahan dan berupaya mengikuti international best practice.
Sehubungan dengan itu, Pemerintah Indonesia telah membentuk Panitia Penyusunan RUU tentang Perubahan Kedua atau Revisi UU TPPU yang dipimpin oleh A.A. Oka Mahendra dengan Kepala PPATK sebagai Wakil Ketua. Panitia RUU yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah membahas secara intensif penyusunan naskah RUU dan telah pula mengundang pakar atau narasumber dari dalam maupun luar negeri.8 Dalam pembahasan disepakati untuk menyusun UU baru sebagai RUU pengganti dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang karena cakupan perubahan, baik yang menyangkut substansi maupun jumlah pengaturannya mencapai lebih dari 50 persen.
Pada bulan September 2006, Panitia telah berhasil merampungkan penyusunan RUU dimaksud yang ditandai dengan disampaikannya naskah RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU kepada Presiden oleh Menteri Hukum dan HAM. Selanjutnya pada tanggal 10 Oktober 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan naskah RUU tersebut ke DPR untuk dibahas bersama dengan Wakil Pemerintah (Menkumham dan Menkeu) guna mendapat persetujuan dengan prioritas utama.
Respon Presiden yang sangat cepat mengisyaratkan perlunya perhatian khusus dan mempercepat proses pembahasan dan pengesahannya menjadi Undang-undang mengingat :
1. RUU tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009 dan bahkan merupakan salah satu RUU Prioritas Tahun 2005 dan Tahun 2006 sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPR RI No.01/DPRRI/III/2004-2005 serta Keputusan DPR RI No.02F/DPR-RI/II/2005-2006.
2. Akan dilakukannya penilaian atau evaluasi terhadap pelaksanaan rezim antipencucian uang di Indonesia oleh komunitas internasional pada tahun 2007.
Dengan terhambatnya pengesahan RUU ini diperkirakan akan dapat mengurangi kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia.Perubahan atas materi muatan yang diatur dalam RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, antara lain :
1. Redefinisi pengertian/istilah dalam konteks tindak pidana pencucian uang (TPPU), antara lain definisi pencucian uang, transaksi keuangan yang mencurigakan, dan transaksi keuangan tunai;
2. Penyempurnaan rumusan kriminalisasi TPPU;
3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administrasi;
4. Perluasan pengertian yang dimaksudkan dengan pihak pelapor (reporting parties) yang akan mencakup profesi (profession) dan penyedia barang/jasa (designated non-financial business);
5. Penetapan jenis dan bentuk pelaporan untuk profesi atau penyedia barang dan jasa;
6. Penambahan jenis laporan PJK ke PPATK yaitu International Fund Transfer Instruction untuk memantau transaksi keuangan internasional;
7. Pengukuhan penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer);
8. Penataan mengenai pengawasan kepatuhan atau audit dan pengawasan khusus atau audit investigasi;
9. Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda mutasi atau pengalihan aset;
10. Penambahan kewenangan Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam hal penanganan pembawaan uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah pabean Indonesia;
11. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan TPPU (multi investigator);
12. Penataan kembali kelembagaan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
13. Penambahan kewenangan PPATK untuk melakukan penyelidikan dan menunda mutasi atau pengalihan aset;
14. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan TPPU termasuk pengaturan mengenai pembalikan beban pembuktian secara perdata terhadap aset yang diduga berasal dari tindak pidana; dan
15. Pengaturan mengenai penyitaan aset yang berasal dari tindak pidana termasuk asset sharing.
Apabila RUU ini disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka Rezim Anti Pencucian Uang Indonesia dalam taraf normatif sudah memenuhi standar Internasional dalam pencegahan dan pemberantasan Tidak Pidana Pencucian Uang sebagaimana dicantumkan dalam Revised Forty Recomendation yang dikeluarkan oleh FATF.
Walaupun demikian penerapan Undang-undang ini juga akan dinilai oleh Mutual Evaluation yang akan segera dilakukan oleh Asia Pacific Group on Money Leundering (APG) yang anggotanya terdiri dari 32 negara.
V. EPILOG
Perjalanan penegakan hukum melalui Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia, sebagaimana halnya sejarah lainnya, merupakan kajian yang dinamis yang mana objeknya adalah entitas yang hidup dan terus bergerak bersama sejarah itu sendiri menuju titik permanensinya. Sebagai bagian dari komposisi sejarah Rezim Anti Pencucian Uang, seluruh perangkat regulasi dalam menangani tindak pidana Pencucian Uang, dalam hal ini UU TPPU dan RUU TPPU tidaklah dipandang sesuatu yang permanen, melainkan sebagai upaya reaksi dan antisipasi terhadap kejahatan Pencucian Uang yang tentunya juga akan terus berkembang seiring dengan perkembangan sistem dan teknologi transaksi finansial.
Untuk lebih memberdayakan rezim anti pencucian uang di Indonesia, dibutuhkan pembenahan dan optimalisasi terhadap empat komponen utama yang memiliki interkoneksitas dan skema ketergantungan yang sangat tinggi antara satu dengan yang lainnya. Adapun komponen yang dimaksud adalah
1. Komponen Regulasi (Hukum dan Perundang-Undangan).
Pembenahan komponen regulasi bertujuan agar tersedianya kerangka hukum dan peraturan perundang-undangan yang kuat, yaitu yang dapat menciptakan ketegasan dan kejelasan tentang rezim anti pencucian uang sehingga mempermudah proses penegakan hukumnya.
2. Sistem Teknologi Informasi dan Sumber Daya Manusia.
Bertujuan untuk menyediakan sarana informasi dan komunikasi global yang terintegrasi dan terjamin keamanannya, serta menciptakan sumber daya manusia yang tangguh, terampil dan memiliki moral yang tinggi yang pada gilirannya dapat mengefektifkan dan mengefisienkan rezim anti pencucian uang.
3. Analisis dan Kepatuhuan.
Bertujuan untuk membangun suatu kondisi yang dapat mendorong reporting parties untuk dapat memahami peranan dan kewajibannya dalam rezim anti pencucian uang khususnya dalam kewajiban penyampaian laporan antara lain laporan suspicious transaction (LTKM) sebagai bahan analisis bagi PPATK yang selanjutnya disampaikan kepada instansi penyidik. Dari hasil analisis atas laporan-laporan suspicious transaction tersebut diharapkan mampu menghasilkan suatu kesimpulan yang memiliki kualitas yang baik sehingga dapat membantu penegakan hukum tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
4. Kerjasama Antar Institusi Baik Domestik Maupun Iternasional.
Ditujukan untuk mempererat kerja sama antar instansi domestik dan meningkatkan pertisipasi masyasakat serta memperkuat kerjasama internasional agar kerjasama dan koordinasi lintas sektoral yang efektif dan efisien dapat terwujud. Di samping itu kerjasama yang baik antar sesama FIU dapat mempercepat terjadinya tukar-menukar informasi tanpa perlu mengorbankan aspek kerahasiaan dan kedaulatan negara.
Untuk dapat membangun rezim anti-pencucian uang yang efektif, perlu melibatkan peran serta semua komponen masyarakat khususnya masyarakat pengguna jasa keuangan, industri keuangan dan industri lain yang terkait dengan keuangan, regulator, aparat penegak hukum dan pemerintah. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi pelaku pencucian uang yang selalu mencari celah dalam upaya menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatannya.
BIBLIOGRAFI
1. Alexander,Shana ,” The Pizza Connection – Lawyers, Money, Drugs, Mafia “ , DIANE Publishing Company 1999, ISBN-13: 9780788168369
2. Carrol, Lisa C. , “ Alternative remittance systems distinguishing sub-systems of ethnic money laundering in INTERPOL member countries on the Asian continent ”.
3. Cees, Schaap “Fighting Money Laundering “ – Crime, Law and Social Change, Volume 31, Number 2, March 1999 , pp. 150-151(2),Springer
4. Chae, Jung-Sug, “ Current Situation And Countermeasures Against Money Laundering: Focusing On The Experience And Legal Policies Of The Republic Of Korea “
5. Conrad,Debbi, “ Money Laundering in the Residential Real Estate Industry “, http://www.news.wra.org
6. Department Of Justice Canada, “ Electronic Money Laundering:An Environmental Scan “ , Solicitor General Canada,October 1998
7. Elvani ,Malkian “Pencucian Uang Sebagai Kejahatan Terorganisir* Seminar Head Fakultas Hukum Unsri tgl 22 September 2005
8. FAFT-GAFI, “ History of The FATF “, http://www.fatf-gafi.org/
9. Financial Action Task Force – Groupe d’action financière , “ Money Laundering & Terrorist Financing Typologies 2004-2005 “
10. Garnasih Yenti
“ Anti Pencucian Uang Di Indonesia dan Kelemahan Dalam Implementasinya (Suatu Tinjauan Awal) ” http://korup5170.wordpress.com/opiniartikel-pakar-hukum/
” Tidak Perlu Malu Kalau UU Pencucian Uang Diamandemen Lagi “ [5/3/05] hukum online
11. http://en.wikipedia.org/wiki/Money_laundering
12. http://financial-dictionary.thefreedictionary.com/Money+Laundering
13. Hurd, “ Insider Trading and Foreign Bank Secrecy “, Am.Bus. J. Vol 24, 1996,
14. Husein ,Yunus, Dr. S. H., LL. M :
“ Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Bayang-Bayang Standar Internasional “.
“ Upaya Indonesia Untuk Keluar Dari Daftar Nccts: Kerja Keras Yang Berkelanjutan “, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005.
15. Layton , Julia, “ How Money Laundering Works “, http://money.howstuffworks.com/money-laundering3.htm
16. “ Money Laundering Methods, Trends and Typologies” , International Narcotics Control Strategy Report ,Volume II: Money Laundering and Financial Crimes , March 2004
17. Nasarudin M.Irsan cs 2004. “ Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Kencana Jakarta. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ”
18. Senator John Kerry and Senator Hank Brown “ The Death Of Vincent Foster BCCI – The BCCI Affair, A Report to the Committee on Foreign Relations United States Senate “, December 1992, 102d Congress 2d Session Senate Print 102-140
19. Soejono Soekantao dan Sri Mamudji, “ Penelitian Hukum Normatif”, Edis Ke-1, Cet.7, Jakarta, Raya Grafindo Persada.
20. Steel ,Billy “ Money Laundering–a Brief History” http://www.laundryman.u-net.com/page1_hist.html.
21. “ The ‘Lectric Law Library’s Lexicon “ (http://www.lectlaw.com/def2/m038.htm)
22. “Undang-undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagimana Telah Dubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Pasal 1”.
23. UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (Palermo Convention 2000), United Nation 2000
24. UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME AND THE PROTOCOLS THERETO, United Nation Office on Drugs and Crime – Vienna, 2004
25. United Nations Conventions Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances
26. Wagley, John R. ,”Transnational Organized Crime: Principal Threats and U.S. Responses” ,March 20th, 2006
27. Williams,Phil, “TRANSNATIONAL CRIMINAL NETWORKS” ,Chapter Three